MUBA – Hidup di penjara bagi pelaku korupsi tidak membuat tingkat korupsi kepala daerah di Indonesia menurun. Jumlah kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan korupsi terus meningkat bahkan sepertinya sulit untuk menurun apalagi dihilangkan.
Bisa jadi fakta di lapangan tentang korupsi kepala daerah lebih banyak lagi tetapi tidak terdeteksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, atau kejaksaan.
Hal ini tentu bertentangan dengan janji kampanye setiap kepala daerah saat pemilu ada yang akan memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat melalui sejumlah program seperti pendidikan gratis, jaminan kesehatan, dan peningkatan ekonomi.
Ketika sudah terpilih dan menduduki jabatan gubernur, walikota, atau bupati, mereka terbuai kenyamanan dan fasilitas sehingga dengan mudah melupakan janji-janjinya kepada masyarakat saat kampanye.
Korupsi kepala daerah terjadi karena pertama, biaya tinggi pemilihan kepala daerah. Setiap calon kepala daerah atau timnya aktif menggalang bantuan dari beragam kalangan atau pihak-pihak tertentu yang berkepentingan akan menawarkan bantuan dengan harapan tertentu setelah calonnya terpilih.
Setelah terpilih, sumber dana pribadi atau dari sumber lainnya itu harus kembali bahkan harus untung besar sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir.
Modusnya bermacam-macam, di antaranya pihak-pihak yang mendukung finansial kepala daerah terpilih akan mendapatkan proyek yang dalam pelaksanaannya bisa saja melanggar aturan yang berlaku, perjalanan dinas fiktif, bantuan sosial fiktif, dan penggelembungan belanja daerah.
Kedua, praktik suap-menyuap dalam birokrasi pemerintahan, laporan fiktif, dan penggelembungan dana sudah membudaya. Budaya itu langgeng karena ada beberapa pihak mendapat penghasilan besar meskipun diperoleh secara tidak sah. Budaya KKN juga akibat gaya hidup mewah pemimpin daerah dan orang-orang di sekitarnya.
Pertama, pemimpin yang punya integritas atau kejujuran. Tugas seorang pemimpin daerah adalah bagaimana memperoleh, mengelola, dan mendistribusikan keuangan daerah kepada program-program atau pihak-pihak yang seharusnya sesuai perencanaan sebelumnya.
Integritas seorang pemimpin akan diuji saat ia berhadapan dengan uang dalam jumlah besar maupun kecil. Pemimpin yang berintegritas akan menggunakan keuangan daerah sesuai regulasi dan untuk pembangunan daerah, serta untuk program-program pro-rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ia tidak akan menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi dan kelompok, apalagi menumpuk kekayaan demi hidup mewah.
Pemimpin berintegritas bahkan mampu memengaruhi orang dan birokrasi yang korup menjadi bersih, setidaknya menguranginya. Dia tidak sekedar menjadi teladan perilaku pejabat yang bersih tetapi juga keras melawan perilaku korup bawahan dan rekanannya. Dia tidak takut dengan resiko perlawanan dari kelompok tertentu, dan bersedia tidak popular.
Kedua, pemimpin yang kompeten atau memahami ilmu pemerintahan. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang segera setelah dilantik mengetahui masalah-masalah yang ada di daerahnya, dan menyusun strategi pemecahan masalah bersama para ahli di bidangnya masing-masing. Kemudian, ia menjalankan strategi itu dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh. Tentu dengan melibatkan banyak unsur di bawah kepemimpinannya.
Pemimpin kompeten tentu tidak sekedar melaksanakan program rutin biasa. Dia mampu menggagas dan merealisasikan program-program inovatif sesuai dengan karakter daerahnya. Dengan demikian kehadirannya terbukti memberi makna bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kondisi pendapatan asli daerah (PAD) setiap provinsi, kota, dan kabupaten jelas berbeda-beda, tetapi pemimpin kompeten pasti mampu melahirkan program inovatif untuk kebaikan dan kebanggaan daerahnya. Steve Jobs (1955-2011) pendiri Apple menulis, “Innovation distinguishes between a leader and a follower.
Catatan-catatan diatas, sepertinya harus kita pikirkan untuk menghadapi Pesta Demokrasi Pada Tahun 2024 mendatang, Apalagi kita ketahui Anggaran Fantastis dipersiapkan dalam menghadapi Pemilihan Pemimpin Daerah yang layak atau tidak layak bagi Masyarakat Pemilik Hak Suara.